Filosofi Pendidikan KHD
Setiap anak memiliki potensi untuk berkembang menjadi apa saja, tergantung pada kita, orang dewasa yang mendidiknya. Anak yang malas dapat dilatih dan diajari untuk menjadi dokter atau ilmuwan, yang terpenting adalah kita dapat memberikan arahan yang tepat.
"Setiap anak bisa dibentuk menjadi seperti apa pun, tergantung dari kita, orang dewasa yang mendidiknya. Anak yang malas bisa dididik, dilatih, dan diajari agar menjadi dokter atau ilmuwan, yang penting kita bisa mengarahkan. Bila perlu dengan disiplin yang ketat." Benarkah?
Tulisan ini adalah Kesimpulan dan Refleksi saya (1.1.a.8. Koneksi Antar Materi), yang didapat setelah mempelajari Modul 1.1 Pendidikan Guru Penggerak.
Siapa yang tidak kenal Ki Hadjar Dewantara (2 Mei 1889 - 26 April 1959) atau sering disingkat KHD? Salah satu semboyannya yang terkenal adalah: Ing Ngarso Sun Tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Bahkan kalimat terakhir tertera pada logo pendidikan Indonesia.
Pendidikan dan Pengajaran
KHD membedakan kata Pendidikan dan Pengajaran. Menurutnya:
- Pendidikan (opvoeding) adalah suatu upaya memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
- Pengajaran (onderwijs) merupakan proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau faedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin.
Dengan demikian, pengajaran adalah bagian dari pendidikan. Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. Untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab, maka salah satu kunci utama adalah pendidikan. Pendidikan menciptakan ruang bagi murid untuk bertumbuh secara utuh agar mampu memuliakan dirinya dan orang lain (merdeka batin) dan menjadi mandiri (merdeka lahir).
Menurut KHD tujuan pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Di sini, peran pendidik hanya menuntun untuk memperbaiki lakunya, bukan kodratnya.
Nah, mulai sedikit terjawab pertanyaan di atas, kan? Kata kuncinya adalah: Menuntun dan memperbaiki lakunya, bukan kodratnya.
Dalam proses menuntun, KHD menggambarkan murid sebagai bibit padi dan bibit jagung, sedangkan guru sebagai pak tani yang menanam bibit.
Sebutir jagung yang baik, kemudian jatuh pada tanah yang baik, banyak air, dan mendapatkan sinar Matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari bapak tani akan menambah baiknya keadaan tanaman. Bila tidak ada pemeliharaan, misalkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, api ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.
Dalam proses menuntun, anak diberi kebebasan. Tapi tidak diberi kebebasan sebebas-bebasnya. Guru harus mengawasi. Tugas guru adalah memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya.
Kodrat Alam dan Kodrat Zaman
KHD mengingatkan para pendidik, bahwa pendidikan anak harus mampu menuntun anak mencapai kekuatan kodratnya sesuai dengan alam dan zaman. Kodrat anak di abad 21 tentu berbeda dengan kodrat anak di abad 20. Demikian juga, pendidikan di pedesaan tentu berbeda karakteristiknya dengan pendidikan di perkotaan, sehingga anak perlu dididik sesuatu alam tempat tinggalnya.
Ini juga bisa dijelaskan seperti planet-planet. Ada planet yang besar, ada yang kecil. Ada yang bergerak pelan, ada yang bergerak lambat. Planet yang bergerak lambat tidak bisa dipaksakan agar bergerak cepat. Masing-masing mempunyai kodratnya sendiri.
Budi Pekerti
Keluarga menjadi tempat utama dan paling baik untuk melatih pendidikan sosial dan karakter baik bagi seorang anak. Keluarga juga merupakan sebuah ekosistem kecil untuk mempersiapkan hidup anak dalam bermasyarakat dibanding dengan institusi pendidikan lainnya, misalkan sekolah.
Metode Montesori, Frobel dan Taman Anak
Metode montessori adalah cara belajar yang berfokus pada kearifan anak. Metode ini menawarkan pembelajaran langsung dengan praktik dan permainan kolaboratif. Anak-anak diberi kesempatan memutuskan apa yang menjadi minat mereka. Metode montessori mengajarkan 5 bidang utama, yaitu kemampuan berbahasa, konsep matematika, budaya sensorik dan kemampuan sehari-hari.
Frobel mendasarkan pandangannya tentang pendidikan atas dua dasar, dasar teologi dan dasar psikologi. Ia beranggapan bahwa manusia terdiri dari dua unsur tersebut. Frobel mengatakan bahwa apabila pendidikan terlalu menekankan salah satu sisi, baik itu sisi rohani maupun sisi kecerdasan, maka akan timpang atau berat sebelah. Oleh karena itu, Frobel berpendapat bahwa pendidikan itu haruslah menekankan kedua sisi tersebut.
Ada beberapa jenis metode yang dipakai Froebel untuk mengembangkan seseorang sesuai tabiatnya, yaitu: berdoa, percakapan, menghafalkan (walaupun hanya tahap sekunder), mengucapkan jawaban secara bersama-sama (secara berirama), bermain, swakaji (guru tidak berceramah), meninjau dan memeriksa, pelaporan (lisan maupun tertulis), bertanya, mengajarkan berdasarkan pola-pola (khusunya dalam bahasa), bercerita, latihan dan ulangan.
Taman Siswa menggabungkan dua metode di atas, tetapi pelajaran panca indra dan permainan tidak dipisah, melainkan dianggap satu. Karena Taman Siswa percaya bahwa dalam segala tingkah laku dan segala kehidupan anak-anak tersebut sudah diisi Sang Maha Among (Pemelihara) dengan segala alat-alat yang bersifat mendidik anak.
Dampak Pemikiran KHD Pada Pola Pendidikan
Saya mengajar sejak tahun 1998. Saya termasuk guru yang berprinsip bahwa kesuksesan seseorang ditentukan dari kecerdasannya. Maka, murid harus menguasai semua pelajaran, semaksimal mungkin.
Pada tahun 2022 inilah, yaitu setelah mengikuti Pendidikan Guru Penggerak, saya mulai memahami bahwa guru tidak bisa menentukan seorang murid akan menjadi apa kelak. Murid seperti kertas yang telah ada sketsa tipis. Guru hanya perlu mempertebal sketsa itu agar menjadi bentuk yang baik. Benih (murid) yang baik akan tumbuh menjadi tanaman yang baik bila ditanam pada tanah yang subur (lingkungan yang baik) dan dirawat dengan baik oleh petani (oleh guru).
Belajar harus menyenangkan. Ketika murid terlihat mulai lelah, guru harus bisa menghidupkan kembali kelas, misalkan dengan permainan kecil. Belajar di bawah tekanan dan kelelahan justru tidak maksimal hasilnya.
Penelitian telah membuktikan bahwa ketertarikan pelajar pada sebuah bidang studi terbentuk setelah mereka memainkan games yang berlandasan topik itu (Miller et al. 2011).
Belajar juga harus berpusat pada murid. Rangsang agar murid tertarik pada suatu materi, kemudian mereka saling berkolaborasi dan berelaborasi. Guru cukup mengawasi, bahwa selama pembelajaran tetap berada pada jalur dan arah yang benar.
Bila murid melakukan kesalahan, saya sebaiknya jangan memarahi, tapi bertanya dalam kalimat empati, misalkan:
- Bolehkah bapak tahu, apa alasan kamu melakukan itu?
- Menurutmu, yang kamu lakukan tadi benar ataukah kurang benar?
- Menurutmu, apakah yang dilakukan itu menyenangkan?
- Coba renungkan, apakah yang telah kamu lakukan itu menganggu teman-temanmu yang lain?
Demikian pemaparan saya mengenai Kesimpulan dan Refleksi Modul 1.1. Semoga bermanfaat. Mari bergerak dan berdampak!
Mawan A. Nugroho.
CGP Angkatan 7 > Banten > Kota Tangerang.
Comments ()