Ketika Selembar Kertas Sangat Berpengaruh
Dalam era pendidikan yang semakin terfokus pada ijazah, artikel ini mengajukan pertanyaan mendasar tentang esensi sejati pendidikan. Apakah pendidikan hanya tentang perolehan ijazah semata, atau seharusnya menjadi wahana pengembangan potensi individu, keterampilan praktis, dan pemahaman mendalam?
Seiring berjalannya waktu, paradigma pendidikan di berbagai negara mengalami perubahan signifikan. Namun, terdapat fenomena menarik yang seringkali terabaikan, yaitu bagaimana satu selembar kertas, yang kita sebut ijazah atau sertifikat pelatihan/workshop, memiliki pengaruh begitu besar dalam kehidupan seseorang. Artikel ini akan membahas fenomena tersebut dan merenungkan dampaknya terhadap tujuan sejati pendidikan.
1. Ijazah Sebagai Tujuan Akhir
Menyusuri lorong-lorong sekolah, banyak dari kita mungkin pernah bertanya-tanya, "Apakah tujuan sebenarnya kita ke sekolah?" Sayangnya, jawaban untuk sebagian besar orang adalah bukan semata-mata untuk mencari ilmu, melainkan untuk mendapatkan selembar kertas bernama ijazah. Ijazah, yang seharusnya menjadi bukti pencapaian intelektual seseorang, kini terkadang menjadi tujuan akhir pendidikan.
Ketika ijazah menjadi satu-satunya tujuan akhir dari proses pendidikan, tekanan pada anak-anak untuk bersekolah menjadi semakin besar. Orang tua kadang-kadang terjebak dalam paradigma bahwa keberhasilan hidup hanya dapat dicapai melalui gelar akademis. Akibatnya, anak-anak merasakan beban berat untuk memenuhi ekspektasi ini. Mereka pergi ke sekolah dengan perasaan "terpaksa," dan suasana di dalam kelas terasa lebih seperti tempat penitipan anak daripada sarana pembelajaran.
Pentingnya ijazah menggeser fokus dari pencarian ilmu menjadi upaya untuk mencapai target akademis. Hasilnya, belajar bukan lagi suatu kegiatan yang dinikmati, melainkan "siksaan batin" yang harus dijalani dari bel masuk hingga bel pulang. Semangat murid untuk mengejar pengetahuan pun mulai luntur, karena sekolah dianggap sebagai kewajiban yang harus dipenuhi daripada kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.
Seiring waktu, bunyi bel pulang menjadi harapan yang dinanti-nanti. Bagi banyak murid, itu adalah saat paling dinanti, di mana beban dan tekanan di sekolah mereda setidaknya untuk sementara waktu. Beberapa bahkan sampai merespon dengan kegembiraan yang terdengar dalam seruan "Hore!" ketika bel pulang berbunyi. Sayangnya, dalam kegembiraan itu, esensi pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan karakter terkadang terlupakan.
Meskipun dulu kemungkinan tidak naik kelas terkait dengan prestasi akademis, kini sistem pendidikan lebih cenderung mengarah pada kondisi di mana naik kelas hampir dijamin. Hal ini, sayangnya, dapat mengakibatkan minimnya motivasi untuk belajar dengan maksimal, karena murid merasa dapat melanjutkan ke tingkat berikutnya tanpa perlu mendalami dan memahami pelajaran secara mendalam. Perlu refleksi mendalam untuk memahami kembali esensi sejati pendidikan dan mengembalikan nilai-nilai substansial dalam perjalanan pembelajaran anak-anak muda kita.
2. Ijazah dan Akses Pekerjaan
Pentingnya ijazah semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa dunia kerja lebih sering melihat kualifikasi formal daripada kemampuan sebenarnya. Orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkan ijazah agar memiliki peluang diterima bekerja dan untuk mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Ini menciptakan paradoks di mana seseorang dapat memiliki ijazah tinggi, namun mungkin belum tentu memiliki keterampilan praktis yang diperlukan di dunia kerja.
Pendidikan tinggi merupakan salah satu jenjang pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mempersiapkan mereka untuk menghadapi dunia kerja. Namun, dalam kenyataannya, banyak lulusan perguruan tinggi yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi atau minat mereka. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal ini adalah pentingnya ijazah sebagai syarat utama untuk melamar pekerjaan.
Pentingnya ijazah semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa dunia kerja lebih sering melihat kualifikasi formal daripada kemampuan sebenarnya. Orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkan ijazah agar memiliki peluang diterima bekerja dan untuk mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Ini menciptakan paradoks di mana seseorang dapat memiliki ijazah tinggi, namun mungkin belum tentu memiliki keterampilan praktis yang diperlukan di dunia kerja.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran terbuka (APTB) lulusan perguruan tinggi pada Februari 2022 mencapai 7,24 persen, lebih tinggi daripada lulusan SMA (5,94 persen) atau SMP (4,86 persen). Hal ini menunjukkan bahwa ijazah tidak menjamin seseorang dapat bekerja dengan mudah. Bahkan, beberapa pekerjaan yang tidak memerlukan ijazah, seperti pengusaha, youtuber, atau influencer, dapat memberikan penghasilan yang lebih besar daripada pekerjaan yang memerlukan ijazah, seperti guru, dokter, atau akuntan.
3. Perlombaan Meningkatkan Nilai
Sekolah dan perguruan tinggi terkadang terjerat dalam perlombaan untuk meningkatkan nilai para murid. Hal ini dilakukan agar lulusan dapat bersaing lebih baik di pasar kerja yang kompetitif. Di tengah persaingan ini, keaslian tujuan pendidikan, yaitu mengembangkan kemampuan dan pengetahuan, dapat terabaikan.
Beberapa sekolah terindikasi mempraktikkan kebijakan naiknya nilai murid setiap semester, dan dalam beberapa kasus, terdapat dorongan agar nilai minimal (KKM/KKTP) ditingkatkan untuk menciptakan kesan bahwa murid-murid tersebut meraih prestasi setara dengan nilai A dan B. Fenomena ini mencerminkan suatu tekanan yang muncul dari kebutuhan untuk menunjukkan peningkatan akademis, bahkan jika itu tidak selalu mencerminkan kemajuan sejati dalam pemahaman materi atau kemampuan murid.
Tren ini juga merembes ke dunia perguruan tinggi, di mana perguruan tinggi negeri yang dianggap favorit masih terkadang memberikan nilai lulusan dengan nilai C. Di sisi lain, di beberapa perguruan tinggi swasta, nilai C dapat dianggap sebagai indikasi yang memerlukan mahasiswa untuk mengulang suatu mata kuliah. Dampak dari kebijakan ini terlihat dalam tekanan yang ditempatkan pada dosen untuk memberikan nilai minimal B kepada mahasiswanya, terlepas dari pencapaian sebenarnya.
Pertanyaan mendasar pun muncul: Apakah nilai A dari suatu kampus mencerminkan bahwa mahasiswanya lebih pintar daripada nilai B dari kampus lain? Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Sistem penilaian yang beragam dan praktik kebijakan kenaikan nilai cenderung merendahkan nilai sebagai indikator keberhasilan akademis sejati. Oleh karena itu, perlu pertimbangan kritis dalam menilai kualitas pendidikan dan prestasi akademis suatu lembaga, melampaui sekadar simbol nilai yang mungkin dapat dipengaruhi oleh kebijakan internal.
4. Sertifikat Daring vs. Kualitas Pelatihan
Di sektor pemerintahan, terutama dalam lingkungan Pegawai Negeri Sipil (PNS), sertifikat pelatihan dapat membuat seseorang cepat naik pangkat, khususnya pada pelatihan dengan durasi lebih dari 32 jam. Maka muncullah pelatihan-pelatihan daring di mana seseorang dapat memperolah 3 sertifikat dalam sebulan yang secara logika sangat sulit didapat.
Ironisnya, kadang-kadang mereka berlomba-lomba untuk mengumpulkan sertifikat tersebut tanpa memperhatikan kualitas pelatihan yang sesungguhnya. Mereka mungkin hadir secara fisik, namun terdistraksi oleh aktivitas lain, meninggalkan esensi dari pelatihan tersebut. Yang penting bayar, maka sertifikat pun muncul.
5. Ijazah vs. Kemampuan Sebenarnya
Semua fenomena ini menciptakan pertanyaan mendasar: Apakah ijazah lebih dihargai daripada kemampuan sebenarnya? Apakah pendidikan modern telah kehilangan fokusnya untuk mengembangkan potensi setiap individu demi satu lembar kertas?
Fenomena ini menunjukkan bahwa ijazah dianggap sebagai indikator utama dari kualitas dan kemampuan seseorang, tanpa memperhatikan faktor-faktor lain yang juga penting, seperti keterampilan, pengalaman, atau minat. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa pendidikan modern cenderung berorientasi pada hasil, yaitu menghasilkan lulusan yang memiliki ijazah yang tinggi dan prestisius, tanpa memperhatikan proses, yaitu mengembangkan potensi dan bakat setiap individu sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka.
Contoh nyata dari fenomena ini dapat dilihat dari berbagai kasus yang sering terjadi di masyarakat, misalnya:
- Seorang lulusan S2 yang memiliki ijazah dari universitas ternama, tetapi tidak memiliki keterampilan komunikasi, kerjasama, atau kreativitas yang dibutuhkan oleh pekerjaannya. Akibatnya, ia sering mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan rekan kerja, atasan, atau klien, dan tidak dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi perusahaan.
- Seorang lulusan SMA/SMK yang memiliki keterampilan menggambar, mendesain, atau memprogram yang luar biasa, tetapi tidak memiliki ijazah yang sesuai dengan bidangnya. Akibatnya, ia sering mengalami diskriminasi atau penolakan saat melamar pekerjaan, padahal ia memiliki portofolio yang menarik dan berkualitas.
- Seorang lulusan D3 yang memiliki ijazah dari politeknik, tetapi tidak memiliki pengetahuan teoritis yang mendalam tentang bidangnya. Akibatnya, ia sering mengalami kesenjangan antara apa yang ia pelajari di kelas dan apa yang ia hadapi di lapangan, dan tidak dapat mengatasi masalah-masalah yang kompleks atau baru.
Dampak negatif dari fenomena ini adalah sebagai berikut:
- Penurunan kualitas sumber daya manusia, karena ijazah tidak selalu mencerminkan kemampuan sebenarnya seseorang. Banyak orang yang memiliki ijazah tinggi tetapi tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja, atau sebaliknya, banyak orang yang memiliki keterampilan yang mumpuni tetapi tidak memiliki ijazah yang sesuai. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian antara kualifikasi dan kompetensi, yang dapat berdampak pada kinerja, produktivitas, atau inovasi.
- Ketidakadilan sosial, karena ijazah seringkali menjadi faktor yang membatasi akses seseorang ke peluang-peluang yang lebih baik. Banyak orang yang berbakat dan berpotensi tetapi tidak memiliki ijazah yang tinggi, sehingga sulit untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan, atau pengembangan diri yang layak. Sebaliknya, banyak orang yang kurang berbakat dan berpotensi tetapi memiliki ijazah yang tinggi, sehingga mudah untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan, atau pengembangan diri yang lebih baik. Hal ini menyebabkan ketimpangan dan kesenjangan sosial, yang dapat berdampak pada kesejahteraan, keadilan, atau harmoni.
- Pemborosan sumber daya pendidikan, karena pendidikan modern cenderung berfokus pada hasil, yaitu menghasilkan lulusan yang memiliki ijazah yang tinggi dan prestisius, tanpa memperhatikan proses, yaitu mengembangkan potensi dan bakat setiap individu. Hal ini menyebabkan banyak sumber daya pendidikan, seperti waktu, tenaga, uang, atau fasilitas, yang terbuang sia-sia, karena tidak digunakan secara optimal untuk mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya, yaitu membentuk manusia yang berkualitas, berdaya, dan berbakti.
Menyelami Ulang Arti Pendidikan
Saat kita menilai dampak fenomena ini, kita dihadapkan pada pertanyaan esensial tentang arti sejati pendidikan. Apakah pendidikan seharusnya hanya tentang mendapatkan ijazah, ataukah seharusnya lebih fokus pada pengembangan potensi individu, keterampilan praktis, dan pemahaman mendalam?
Argumen yang mendukung pernyataan bahwa ijazah lebih dihargai daripada kemampuan sebenarnya adalah sebagai berikut:
- Ijazah penting sebagai bukti kompetensi, karena ijazah merupakan hasil dari proses belajar yang panjang, sistematis, dan terstandar. Ijazah menunjukkan bahwa seseorang telah mempelajari dan menguasai bidang ilmu tertentu dengan baik, dan telah lulus ujian yang mengukur kemampuannya. Ijazah juga menunjukkan bahwa seseorang telah mengikuti kurikulum yang disusun oleh para ahli dan disahkan oleh pemerintah, sehingga memiliki kredibilitas dan kualitas yang terjamin.
- Ijazah penting sebagai alat seleksi, karena ijazah merupakan salah satu cara yang mudah, cepat, dan objektif untuk menilai kualifikasi seseorang. Ijazah dapat digunakan sebagai syarat awal untuk melamar pekerjaan, pendidikan, atau penghargaan, karena ijazah dapat memberikan gambaran umum tentang kemampuan seseorang. Ijazah juga dapat digunakan sebagai alat pembanding, karena ijazah dapat menunjukkan perbedaan tingkat pendidikan, prestasi, atau pengalaman antara satu orang dengan orang lain.
Sebagai masyarakat yang semakin canggih, mungkin saatnya bagi kita untuk merenung dan merefleksikan kembali arti sejati pendidikan. Ijazah mungkin penting, namun keberhasilan sejati terletak pada kemampuan nyata dan kontribusi positif terhadap masyarakat. Mungkin sudah saatnya kita membebaskan diri dari paradoks ini dan mengembalikan esensi sejati dari pendidikan modern.
Comments ()