Mentalitas Kepiting
Tanpa disadari, mungkin di sekitar kita ada orang-orang yang bermental "Kepiting-kepiting di dalam ember." Apa itu Mentalitas Kepiting? Mari simak artikel menarik ini.
Mental kepiting adalah cara berpikir yang biasanya digambarkan dengan frasa “jika saya tidak bisa memilikinya, Anda juga tidak bisa”.
Metafora ini berasal dari klaim anekdot tentang perilaku kepiting ketika mereka terperangkap dalam ember: meskipun satu kepiting dapat dengan mudah memanjat keluar, kepiting tersebut tetap akan ditarik kembali oleh yang lain, sehingga memastikan kehancuran kelompok secara kolektif.
Teori analogi dalam perilaku manusia adalah bahwa anggota kelompok akan berusaha untuk mengurangi kepercayaan diri setiap anggota yang mencapai kesuksesan melebihi yang lain, karena iri hati, cemburu, dendam, dengki, persekongkolan, atau perasaan kompetitif, untuk menghentikan kemajuan mereka meskipun tidak ada manfaat yang terkait.
Teori pemeliharaan evaluasi diri
Pada tingkat emosional, mentalitas kepiting dapat berasal dari kebutuhan manusia yang mendalam akan harga diri dan perbandingan sosial. Teori pemeliharaan evaluasi diri (SEM) dari Tesser menunjukkan bahwa individu terlibat dalam evaluasi diri tidak hanya melalui introspeksi tapi juga melalui perbandingan dengan orang lain, terutama mereka yang berada di dalam lingkaran sosial dekatnya.
Ketika seseorang yang dekat dengan kita unggul di bidang yang kita hargai, kita mungkin merasa terancam dan bertindak dengan cara meremehkan pencapaian mereka. Mekanisme ini sebagian dapat menjelaskan mengapa seseorang mungkin berusaha menjatuhkan mereka yang mencapai lebih dari dirinya, sebagai cara untuk melindungi harga diri dan status sosialnya.
Sebagai contoh, pertimbangkan dua orang teman yang sangat menyukai seni lukis dan secara rutin menghadiri kelas seni bersama. Mereka berdua bangga dengan kemampuan artistik mereka, tetapi ketika karya seni salah satu teman dipilih untuk pameran lokal yang bergengsi, teman yang lain mungkin mengalami perasaan iri dan merasa terancam harga dirinya.
Emosi seperti iri hati dapat muncul ketika seseorang merasa terancam saat melakukan evaluasi diri. Hal ini dapat mengarah pada keinginan untuk mengurangi kesejahteraan orang lain, terutama ketika kesuksesan mereka menyoroti kegagalan atau kekurangan kita sendiri.
Teori deprivasi relatif
Teori deprivasi relatif menyatakan bahwa perasaan ketidakpuasan dan ketidakadilan muncul ketika seseorang membandingkan situasi mereka dengan situasi orang lain secara tidak adil. Perasaan ketidaksetaraan ini, yang berakar pada persepsi subjektif dan bukan pada ukuran objektif, dapat sangat memengaruhi perilaku sosial, termasuk fenomena mentalitas kepiting.
Ketika individu melihat rekan-rekan mereka mencapai kesuksesan atau menerima pengakuan yang mereka rasa tidak pantas atau tidak dapat dicapai oleh diri mereka sendiri, hal ini dapat memicu tindakan yang bertujuan untuk meremehkan pencapaian rekan-rekan mereka.
Konsep ini muncul dari sebuah penelitian terhadap tentara Amerika oleh Stouffer. Tentara di unit yang mendapat promosi lebih banyak secara paradoks merasa kurang puas, merasa tersisih jika tidak dipromosikan, meskipun mereka memiliki kesempatan yang lebih baik untuk maju.
Hal ini mencerminkan bagaimana kekurangan relatif memicu ketidakpuasan dengan membandingkan situasi seseorang dengan orang lain. Dengan "menyeret" orang lain ke tingkat yang sama, individu dapat merasakan kepuasan.
Dengan demikian, mentalitas kepiting dapat dipandang sebagai respons terhadap ketidaksetaraan sosial yang dirasakan, di mana menjatuhkan orang lain menjadi strategi untuk mengatasi perasaan tidak mampu atau ketidakadilan.
Bias jumlah nol
Bias zero-sum, di mana individu merasa bahwa mereka hanya dapat memperoleh keuntungan dengan mengorbankan orang lain, dapat berkontribusi pada mentalitas kepiting.
Bias ini berakar pada kesalahpahaman mendasar tentang kesuksesan dan distribusi sumber daya, yang mengarah pada keyakinan yang salah bahwa kesuksesan dan sumber daya itu terbatas dan keuntungan seseorang harus menjadi kerugian bagi orang lain. Cara pandang seperti itu mendorong interaksi sosial yang kompetitif dan bukannya kolaboratif, yang mendorong perilaku yang bertujuan untuk menghalangi pencapaian orang lain demi melindungi bagian yang dianggap sebagai bagian dari sumber daya yang terbatas, seperti kepiting dalam ember.
Dalam penelitian Daniel V. Meegan, para peneliti menemukan bahwa murid mengharapkan nilai yang lebih rendah untuk teman sebaya setelah melihat banyak nilai tinggi yang telah diberikan, meskipun berada dalam sistem di mana nilai tinggi tidak terbatas. Hal ini menggambarkan bagaimana orang sering melihat kesuksesan sebagai sumber daya yang terbatas.
Jadi, ketika mereka melihat rekan-rekan mereka berhasil "keluar dari ember", mereka mungkin mencoba untuk menghambat kemajuan mereka untuk memastikan peluang mereka sendiri untuk sukses tetap tidak berubah.
Sangat penting untuk membedakan mentalitas kepiting dari persaingan strategis, di mana tindakan dihitung untuk kepentingan pribadi dan keuntungan pribadi. Perilaku rasional orang ditujukan langsung untuk menguntungkan diri mereka sendiri. Karena didorong oleh bias kognitif dan emosi, mentalitas kepiting sering kali merupakan perilaku reaktif dan tidak rasional yang berusaha menyamakan kedudukan dengan menjatuhkan orang lain, meskipun tidak ada manfaat langsung bagi individu tersebut.
Variasi budaya
Mentalitas kepiting menampilkan variasi yang menarik di berbagai budaya, masing-masing memberikan lensa yang unik untuk melihat fenomena ini.
Di Filipina, frasa mentalitas kepiting dengan jelas menggambarkan kecenderungan orang untuk menyeret rekan-rekan mereka ke bawah, secara metaforis, untuk mencegah mereka keluar dari ember fiksi.
Perspektif ini tercermin di Australia dan Selandia Baru melalui sindrom tall poppy, di mana individu yang mencapai kesuksesan besar sering kali menjadi sasaran atau dikritik, yang mencerminkan preferensi masyarakat akan kesetaraan daripada perbedaan individu. Hukum Jante di negara Skandinavia mengambil pendekatan yang berbeda namun berkaitan untuk mempromosikan nilai-nilai komunitas di atas pencapaian pribadi, yang menunjukkan pendekatan komunal terhadap kesuksesan.
Penerapan
Konsep mentalitas kepiting memiliki aplikasi praktis di berbagai bidang. Di tempat kerja, mengenali mentalitas kepiting dapat membantu organisasi mengembangkan strategi untuk menumbuhkan budaya yang lebih kolaboratif dan mengurangi persaingan yang kontraproduktif di antara para karyawan. Misalnya, dengan mempromosikan penghargaan berbasis tim dan mengakui pencapaian kolektif, perusahaan dapat mendorong kerja sama tim dan saling mendukung.
Perilaku karyawan yang merongrong dapat mengikis kepercayaan dan kerja sama di antara anggota tim, yang mengarah ke lingkungan kerja yang beracun.
Dalam lingkungan pendidikan, kesadaran akan mentalitas kepiting dapat memandu intervensi yang bertujuan untuk mempromosikan pola pikir pertumbuhan di antara para murid, di mana kesuksesan dilihat sebagai sesuatu yang dapat dicapai oleh semua orang melalui upaya dan kerja sama, dan tidak terbatas seperti dalam permainan zero-sum.
Upaya pengembangan masyarakat juga dapat memperoleh manfaat dari pemahaman mentalitas kepiting, terutama dalam merancang program yang bertujuan untuk mencapai keberhasilan kolektif. Dengan mengatasi konflik dan persaingan yang mendasarinya, inisiatif semacam itu dapat mendorong semangat yang lebih kooperatif, memastikan bahwa keberhasilan salah satu anggota dirayakan sebagai pencapaian kolektif dan bukan keberhasilan individu.
Menurut sebuah studi oleh Robert J. Sampson, Stephen W. Raudenbush, dan Felton Earls, solidaritas masyarakat dapat mengarah pada hasil positif seperti pengurangan kekerasan. Pada intinya, "kepiting di dalam keranjang" harus diberitahu bahwa mereka semua dapat "melarikan diri" jika mereka bekerja sama, dan menjatuhkan orang lain tidak akan menghasilkan apa pun selain konflik.
Comments ()