Salah Kaprah Penggunaan Grup WhatsApp
Di balik kemudahan dan manfaat teknologi, terkadang diikuti oleh keruwetan akibat penggunaan yang salah. Misalkan pengumuman yang ditulis di grup WhatsApp, atau pesan japri yang bertele-tele.
Sekedar berbagi pengalaman (curhat).
Di HP saya ada banyak grup. Sangat banyak malah. Ada grup keluarga kecil, grup keluarga besar, grup alumni SMA, alumni Pramuka, alumni PMR, senior Marching Band (ada dua: Drum Band Kwarcab dan MB Pemda), alumni Kuliah (ada dua: S1 dan S2), grup RT (ada 2), grup-grup di sekolah (grup Ketua Jurusan, grup Manajemen, grup P5, panitia ujian akhir semester, dkk), MGMP, Guru Penggerak (beranak pinak nih grup, ada grup GP kelas, GP kota, GP provinsi), dan masih banyak lagi.
Itu baru grup di WhatsApp. Belum di Telegram.
Nah, masalahnya adalah: Ketika ada kewajiban misalkan rapat, Surat Tugas hanya dikirim di grup WhatsApp. Cilakanya saya tidak sempat membaca. Saya tidak ikut rapat. Diomelin. (Misalkan ini lho).
Seperti kita ketahui bersama, bahwa di grup WhatsApp bercampur segala obrolan. Pengumuman, undangan, curhat, komentar, striker, iklan like and subscribe, dagangan, bahkan video nggak jelas, berkumpul jadi satu. Berbeda dengan channel Telegram di mana postingan hanya bisa ditulis oleh Admin. Anggota hanya bisa memberi komentar. Channel Telegram lebih memudahkan anggota yang sibuk dan hanya punya waktu beberapa detik untuk menengok HP.
Contoh lain adalah undangan reuni alumni. Ditulis di grup. Saya tidak membaca. Ujung-ujungnya saya dikomentari, "Mawan nggak asyik. Nggak mau ngumpul-ngumpul." Padahal bukan karena nggak mau ngumpul, tapi di grup itu ada puluhan obrolan baru. Saya tidak punya waktu banyak untuk membaca satu persatu. Biasanya saya langsung melompat ke paling bawah (obrolan paling baru).
Padahal zaman dulu ketika belum ada WhatsApp, setiap ada rapat, kita disamperin petugas (kalau di sekolah oleh tata usaha), dikasih surat dalam bentuk hardcopy, dan disuruh tanda tangan di buku ekspedisi untuk memastikan bahwa yang diundang benar-benar tahu bahwa ada undangan. Nah, sekarang ditulis di grup. Ini terjadi di hampir semua kelompok, di mana-mana, dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau.
Yang terbaru adalah pertemuan suatu komunitas di gedung X. Diumumkan di grup. Saya nggak baca, padahal yang hadir diabsen. Saya buru-buru mendatangi gedung tersebut. Sampai di sana ternyata acara sudah selesai.
Kalau sekedar pemberitahuan, misalkan akan ada penyemprotan nyamuk di RT, boleh deh ditulis di grup RT. Tapi kalau wajib, mendingan disamperin atau dijapri (chat jalur pribadi / bukan di grup). Kalau di grup, minimal di-mention (disebut dengan menambahkan karakter @ di depan namanya).
Tidak semua orang suka membaca grup. Ada yang setelah lewat Maghrib sampai Subuh HP di-silent. Ada juga yang rutin melakukan clear chat di WhatsApp agar HP tidak penuh. Saya termasuk orang yang paling jarang membuka WA dan Telegram di HP. Tik-tok? Saya tidak punya akun. Membuka laptop lebih sering untuk bekerja atau belajar.
Satu lagi yang menjengkelkan.
Ada yang japri menulis: "Assalamu'alaikum."
Sudah. Hanya itu. Sesingkat itu!
Saya menjawab: "Wa'alaikum salam. Ada apa?"
Tak lama ada balasan: "Maaf pak. Izin bertanya. Apakah boleh?"
"Iya, ada apa?"
"Tugasnya dikumpulkan di mana pak?"
Saya mulai kesal dengan chat yang bertele-tele seperti ini. Siapa yang mau mengumpulkan? Murid saya kah? Atau mahasiswa saya?
"Ini siapa? Tugas tentang apa?"
Sebaiknya, kalau menghubungi seseorang langsung saja ditulis seperti ini:
"Assalamu'alaikum. Maaf pak. Saya Selly, mahasiswa semester V. Izin bertanya, tugas kami dikumpulkan di mana?"
Nah, kalau singkat padat seperti itu kan enak.
Duh, kalau mengingat kekusutan seperti ini, kadang jadi pingin kembali ke zaman dulu ketika belum ada ponsel. ðŸ˜
Comments ()